Inilah7+ Cerpen Tentang Ibu, Cerita Pendek Singkat tentang Ibu tercinta, sedih dan menyentuh, serta kisah inspiratif dan motivasi terbaik. Di sebuah desa nan terpencil, hidup sebuah keluarga yang terdiri dari seorang anak dan ibu (Marniah). Kami tergolong keluarga miskin, yang dimana bila ibu tidak bekerja sehari saja, maka untuk makan PerjuanganKeluarga Miskin. Menjadi orang miskin itu seperti hidup di dalam suatu penjara. Suasananya yang gelap tidak bebas dan tentunya selalu susah. Ingin makan enak tidak bisa ingin keluar tidak bisa, itulah gambaran sedikit dari orang yang hidup di dalam kemiskinan. Arya adalah satu satunya anak yang hidup di dalam kemiskinan. CerpenTentang Keluarga Miskin Tulisan from tribunnewss.github.io. Pdf menyibak relevansi permasalahan sosial dalam kumpulan cerita. Walaupun mereka miskin tetapi keluarga mereka sangat bahagia dan selalu bekerja dengan ulet. Kartu tanda miskin itu masih bersih,licin,dan mengkilat karena delaminating. 8 Amanat : Kita harus menerima takdir/nasib apa adanya, tetapi takdir/nasib bisa berubah jika kita mau mengubahnya. SINOPSIS CERPEN "Perihal Orang Miskin yang Bahagia". Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan orang miskin. Orang miskin yang mempunyai 3 anak masih kecil, paling tua 8 tahun,dan yang lain kurang dari 6 tahun. ContohCerpen Pendidikan. Si Miskin Bersekolah; Semenjak ayahnya meninggal ekonomi keluarga bu Saji tidak stabil. Sehingga membuat mereka berusaha keras mengumpulkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan berharap mendapatkan rezeki lebih agar Yahya bisa sekolah kembali. Cerpen Tema Pendidikan tentang Sekolah. saya mengerti, memang permainan bulu tangkis biasanya dimainkan oleh sebagai berikut kecuali. Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengungkap tema cerita pendek Hamsad Rangkuti berjudul Karjan dan Kambingnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan ini menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Dalam pembahasan, aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis cerita pendek tersebut dikaji untuk mengungkap tema cerita. Kata Kunci Tema kemiskinan, aspek sintaksis, aspek semantis, aspek pragmatis I. LATARBELAKANG Dalam kata pengantar kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Hamsad Rangkuti mampu menangkap detil suatu objek atau peristiwa yang kadang terlewatkan oleh kita. Sampah Bulan Desember, 2000 xii. Cerpen-cerpen Rangkuti banyak menyoroti kehidupan orang-orang miskin. Ia dianggap mampu merepresentasikan 1 masyarakat miskin dalam karya-karyanya. Rangkuti mencoba untuk menggugah kepedulian kita terhadap masyarakat miskin yang sering ditelantarkan dan di tempatkan dalam posisi marjinal. Sehubungan dengan hal tersebut, makalah ini bertujuan untuk mengungkap tema salah satu cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Karjan dan Kambingnya. Pembahasan didasarkan pada landasan berfikir kaum strukturalis yang menganggap teks sebagai sebuah bentuk otonom. Kaum strukturalis berpendapat bahwa untuk memaknai sebuah teks karya sastra, kita harus menempatkan teks 1 Meski banyak definisi untuk kata representasi, dalam pembahasan ini penulis mendefinisikan representasi sebagai ciraan atau gambaran. Dani Cavallaro, Teori Kritis dan Teori Budaya Yogyakarta Niagara, 2004, hlm. 69. Belajar tentang nilai moral dapat dari mana saja. Salah satunya adalah melalui cerpen atau cerita pendek. Walau sederhana, cerpen pendidikan dapat menjadi inspirasi yang membuat pembacanya tercerahkan. Melalui bahan bacaan, pembaca tidak sekedar membaca sambil lalu. Ada penyerapan makna-makna kehidupan yang dapat mengubah pola pikir. Pada akhirnya, membuat pembacanya mengetahui cara hidup yang lebih baik. Berikut ini adalah lebih dari 15 contoh cerpen yang dapat menjadi rujukan untuk memperoleh peran moral dan menginspirasi. Selamat membaca! Daftar ISI15 Contoh Cerpen Pendidikan1. Seorang Raja yang Bertanya tentang Burung Pipit2. Cerpen Pendidikan Tentang Pensil dari Nenek3. Cerpen Pendidikan Tidak Boleh Menyalakan Klakson di Rumah Sakit4. Cerpen Pendidikan tentang Membangun Kebiasaan Baik5. Air Terakhir untuk Ibu6. Cerpen Pendidikan tentang Penghasut7. Balasan atas Kejujuran8. Cerpen Pendidikan tentang Pesan dari Ayah9. Harga Seekor Ikan Arwana10. Cerpen Pendidikan tentang Timbangan Tukang Mentega11. Keledai yang Terperangkap12. Cerpen Pendidikan tentang Menyusun Peta13. Menanam Jagung Kualitas Terbaik14. Cerpen Pendidikan tentang Seekor Sapi yang Terpenggal15. Cerpen Pendidikan Ikan Segar16. Cerpen Pendidikan Kejujuran Seorang Tukang BecakBelajar Makna Kehidupan dari Cerpen Pendidikan Setiap cerita memiliki makna mendalam yang dapat menjadi bahan perenungan. Berikut ini setiap cerpen pendidikan dan makna moralnya 1. Seorang Raja yang Bertanya tentang Burung Pipit Suatu hari di negeri yang jauh, ada seorang raja yang suka menanyakan hal unik pada para pengawalnya. Kali ini, pertanyaan yang ia ajukan cukup membuat pusing para pengawal dan penghuni istana lainnya. Pertanyaan yang raja ajukan adalah “Tahukah kamu berapa jumlah burung pipit yang ada di negeri ini?”. Jelas saja mereka semua kebingungan, karena tidak mungkin melakukan perhitungan tentang hal tersebut. Pertanyaan unik ini rupanya sampai ke telinga seorang pengembara yang sedang singgah di negeri itu. Ia pun kemudian mengunjungi istana dan bertanya pada pengawal perihal pertanyaan sang raja. Setelah mendengar pertanyaan itu, ia minta izin untuk menemui raja untuk memberitahu jawabnya. Ketika sudah berhadapan dengan sang raja, raja berkata “Berapa jawabmu?”. Ia pun menjawab, “Burung pipit di negeri ini ada dua puluh ribu lima ratus tiga puluh tiga ekor, baginda”. Raja pun tercengang dan bertanya “Bagaimana kamu mengetahuinya?”. Pengembara menjawab “Baginda dapat melakukan perhitungan dengan teliti. Apabila jumlahnya lebih sedikit dari saya sebutkan, maka akan ada burung pipit yang datang dari negeri lain untuk mengunjungi keluarganya di sini. Sebaliknya, apabila jumlahnya kurang, maka akan ada burung pipit dari negeri ini yang pergi mengunjungi kerabatnya di luar negeri.” Raja sangat menyukai jawaban cerdik pengembara itu. Ia pun memberikan hadiah yang berharga untuknya. Pesan Moral Berpikirlah cerdik atas setiap situasi. 2. Cerpen Pendidikan Tentang Pensil dari Nenek Adi adalah seorang anak sekolah yang duduk di bangu kelas 6 SD. Dia adalah anak yang bertanggung jawab. Namun, suatu ketika ia bersedih karena memperoleh nilai yang buruk pada mata pelajaran ilmu alam. Ketika sedang tenggelam dalam kesedihannya, nenek yang sangat menyayanginya masuk ke kamarnya dan menanyakan keadaannya. Adi pun menceritakan tentang nilainya yang sangat tidak memuaskan. Kemudian, nenek justru memberikan sebuah hadiah kecil untuknya. Hadiah ini berisi sebuah pensil baru dengan gambar karakter kesukaan Adi. Adi sedikit tersenyum, namun bermaksud menolak hadiah dari nenek karena merasa tidak pantas. Ia berkata “Aku tak pantas mendapatkannya sebagai hadiah, Nek, nilaiku kan jelek” katanya dengan sedih. Nenek pun menjawab “Terimalah nak, sebab pensil ini mirip denganmu”. Adi pun nampak kebingungan dengan maksud nenek. Nenek melanjutkan “Pensil ini perlu diraut hingga runcing agar berguna. Ia melalui proses yang menyakitkan. Sama seperti dirimu yang perlu melalui proses jatuh bangun yang sakit hingga menjadi manusia yang berguna nantinya”. Adi pun mengerti dan mulai tersenyum. Pesan Moral Setiap orang perlu melalui proses menyakitkan untuk membentuk dirinya. 3. Cerpen Pendidikan Tidak Boleh Menyalakan Klakson di Rumah Sakit Suatu hari ada seorang ibu muda yang baru saja mengunjungi temannya yang sakit di rumah sakit. Ketika akan menyetir keluar dari area parkir, jalannya terhalang oleh mobil lain yang sedang menurunkan penumpang. Ibu muda ini menjadi tidak sabar, ia mulai membunyikan klakson berkali-kali. Seorang dokter muda datang menghampiri mobilnya dan menegur agar ibu ini berhenti membunyikan klakson. Alasannya, karena memang tidak diperkenankan membunyikan suara keras di area rumah sakit. Namun, ibu muda ini justru semakin kesal dan berkata kasar pada dokter muda tersebut. Keributan pun terjadi dan banyak orang kemudian mendekat untuk melerai. Sebagian menyalahkan dokter muda karena mereka berpendapat bahwa tidak sepantasnya seorang dokter marah-marah. Namun, juru parkir rumah sakit lalu mendekat dan memberikan kesaksian, bahwa ibu muda lah yang telah melanggar ketentuan dengan membunyikan klakson dengan keras dan berkali-kali. Ibu muda ini pun akhirnya pergi meninggalkan area rumah sakit dengan tertunduk malu. Pesan Moral Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Artinya, dimanapun berada, ikutilah ketentuan atau peraturan yang berlaku pada tempat tersebut. 4. Cerpen Pendidikan tentang Membangun Kebiasaan Baik Alkisah ada seorang anak remaja bernama Nita. Nita memiliki kebiasaan buruk, yaitu sering tidak tepat waktu dan bahkan melanggar janji. Ia beberapa kali telah mengecewakan teman-temannya karena kebiasaan buruk ini. Suatu kali Nita dan beberapa orang temannya membuat janji untuk berangkat berlibur bersama di akhir pekan. Mereka bersepakat untuk berkumpul dan berangkat pada pukul 7 pagi. Namun, Nita sendiri yang tak kunjung muncul hingga pukul 8. Hingga akhirnya, salah satu teman menelepon Nita dan mengetahui bahwa ia terlambat bangun dan terpaksa tidak jadi ikut berlibur. Teman-teman kecewa karena sudah terlanjur menunggunya. Mereka jadi berangkat terlalu siang hingga akhirnya terjebak macet. Beberapa tahun berlalu, Nita masih berteman baik dengan teman-temannya saat remaja dulu. Suatu hari Nita bermaksud ingin mengajak teman-temannya reuni untuk bernostalgia tentang masa remaja mereka. Nita pun mengundang teman-temannya ke rumahnya untuk datang makan malam. Ia sibuk sejak siang untuk mempersiapkan hal tersebut. Namun, hingga jam yang telah disepakati, belum ada temannya yang datang. Bahkan hingga tengah malam, Nita duduk sendirian di meja makannya. Rupanya, teman-temannya tidak dapat hadir dan tidak memberi kabar karena mengira hal tersebut adalah hal yang biasa bagi Nita. Pesan Moral Jangan membangun kebiasaan buruk. 5. Air Terakhir untuk Ibu Meira adalah seorang gadis remaja yang menyayangi ibunya. Suatu hari, ibunya jatuh sakit. Karena ayahnya sibuk bekerja, maka Meira lah yang harus merawat ibunya. Suatu malam, ibu membangunkan Meira dengan suara seraknya. Ibu meminta Meira mengambil segelas air untuknya. Walau enggan harus turun dari tempat tidur di tengah malam, Meira melakukannya juga. Ia mengambil segelas air, lengkap dengan tutupnya. Kemudian, meletakkannya di nakas samping tempat tidur Ibu. Kemudian, ia sendiri kembali tidur. Paginya saat bangun, Meira terkejut bukan main. Rumahnya sudah sangat ramai. Bendera kuning sudah terpasang di teras rumahnya. Ibu Meira meninggal dunia. Hingga beberapa tahun berlalu, air terakhir untuk Ibu yang Meira ambilkan masih ada pada nakas samping tempat tidur ibu. Meira tidak pernah memindahkannya. Segelas air itu menjadi kenangan bagaimana Meira berbakti pada ibunya hingga waktu terakhir. Pesan Moral Berbaktilah pada orang tua pada setiap kesempatan, agar tidak menyesal. 6. Cerpen Pendidikan tentang Penghasut Suatu masa ada seorang gadis kecil bernama Maya. Maya adalah anak dari pedagang ubi kukus. Keluarganya bergantung hidup dari dagangan tersebut. Mereka memiliki sebuah kebun ubi kecil di samping rumah mereka. Setiap hari Kamis sore, Maya ikut belajar mengaji di Masjid yang letaknya di kampung sebelah. Para orang tua biasanya membawakan makanan untuk anak-anak yang belajar mengaji di Masjid. Orang tua Maya tidak pernah ikut menyumbang makanan untuk anak-anak tersebut. Namun, suatu hari keluarga mereka memiliki kelebihan hasil panen ubi. Orang tua Maya sangat senang, karena mereka berpikir akhirnya ada kesempatan untuk menyumbang makanan untuk anak-anak yang belajar mengaji di Masjid. Maka, Kamis sore itu Maya membawa ubi rebus dalam panci yang cukup besar. Ia meletakkannya berjejer dengan makanan-makanan lain. Namun, salah seorang anak lain bernama Yati melihat ubi tersebut dan berkata “ih ubi tidak enak, siapa sih yang membawa makanan seperti ini kesini”. Karena perkataan Yati, nyaris tidak ada anak yang memakan ubi kukus dari orang tua Maya. Khawatir orang tuanya akan sedih, Maya berusaha memakan semua ubi kukus yang tersisa. Maya berjalan pulang dengan perut yang sangat kenyang hingga ia muntah di bawah pohon dalam perjalanan pulang. Ia berjalan pulang dengan menangis. Pesan Moral Perkataan dapat menjadi berkat, perkataan juga dapat sangat menyakiti orang lain. 7. Balasan atas Kejujuran Edi adalah seorang remaja yang akan lulus SMA tahun ini. Ia sangat ingin melanjutkan kuliah. Namun apa daya, orang tuanya sudah tak mampu membiayainya untuk melanjutkan sekolah. Suatu siang saat ia pergi ke pasar atas permintaan ibunya untuk berbelanja, ia menemukan sebuah kantong plastik berada pada bangku di pelataran kios yang tutup. Edi duduk pada bangku itu untuk beristirahat sebelum pulang. Karena iseng, ia membuka bungkusan yang tertinggal tersebut. Ia pikir mungkin itu adalah sampah yang sudah tidak terpakai. Namun, alangkah terkejutnya ia sebab bungkusan itu berisi lembaran uang pecahan ratusan ribu dengan jumlah yang banyak. Ia langsung membayangkan dapat pergi kuliah dengan uang tersebut. Mungkin itu adalah jawaban Tuhan atas doa-doanya. Tetapi ia teringat ajaran orang tuanya tentang kejujuran. Ia pun kemudian melaporkan penemuanya ke kantor polisi. Seminggu kemudian, pemilik uang itu datang ke rumah Edi dan menawarkan sebuah beasiswa pendidikan. Balasan atas kejujuran yang sebelumnya sama sekali tidak Edi duga. Pesan Moral Peganglah teguh prinsip kebaikan. 8. Cerpen Pendidikan tentang Pesan dari Ayah Nana memiliki seorang ayah yang posesif. Ia sering kesal atas perilaku ayahnya tersebut. Ayah Nana melarang Nana untuk pulang terlalu larut. Padahal, Nana masih ingin nongkrong dengan teman-temannya. Nana berpikir, ayahnya berlebihan. Sebab, menurut Nana, teman-temannya sering pulang lebih larut darinya, dan tidak pernah terjadi hal buruk karenanya. Namun, walaupun Nana telah mengutarakan kekesalannya, ayahnya tetap keras kepala. Ayah Nana selalu mengirim pesan agar Nana dapat segera pulang apabila telah melewati pukul 9 malam. Nana kadang menjawab, namun sering juga mengabaikannya karena kesal. Suatu malam, Nana pulang terlalu larut karena lupa waktu saat mengerjakan tugas kuliah bersama teman-temannya. Waktu telah hampir pukul 10 malam. Namun aneh, tidak ada pesan dari ayah. Nana pikir, mungkin HP ayah habis baterai. Sesampainya di rumah, betapa kagetnya Nana. Jalan depan rumah Nana sudah ada tenda dan bendera kuning. Ayah Nana meninggal pukul 8 malam akibat serangan jantung. Pantas saja, ia tidak mengirim pesan untuk Nana pada pukul 9 malam. Pesan Moral Hargailah kasih sayang orang tua, 9. Harga Seekor Ikan Arwana Suatu hari ada seorang guru yang ingin mengajarkan tentang nilai diri kepada murid kesayangannya. Ia pun menyuruh muridnya untuk mengambil foto ikan arwana miliknya. Kemudian, ia menyuruh muridnya untuk mencari orang yang mau membeli ikan tersebut dengan harga terbaik. Pertama-tama, guru itu menyuruh muridnya menawarkan ikan tersebut ke tetangga sebelah. Ketika murid itu pulang, guru bertanya berapa harga yang tetangga tersebut mau bayarkan untuk ikan itu. “60 ribu rupiah, guru” kata murid itu. Kemudian, guru itu menyuruh murid pergi menawarkan untuk kedua kalinya. Kali ini ia menyuruh murid itu ke toko ikan hias. Saat pulang, mata murid itu masih berbinar-binar. Ia melaporkan “Toko itu ingin membelinya dengan harga 1 juta rupiah, guru”. Guru itu tersenyum dan berkata bahwa ia tidak akan menjual ikan kesayangannya tersebut. Ia melanjutkan penjelasannya “kita semua menarik dan berharga pada mata orang yang mengerti nilai diri kita”. Pesan Moral Setiap manusia berharga dan menarik untuk setiap orang lain yang mengerti. 10. Cerpen Pendidikan tentang Timbangan Tukang Mentega Suatu kali pada sebuah desa hiduplah peternak dan tukang mentega yang bertetangga. Tukang mentega berlangganan susu dari peternak sebagai bahan untuk membuat mentega. Suatu kali, peternak ingin membuat roti bakar, sehingga ia bermaksud membeli mentega dari tetangga tersebut. Maka, ia pun membeli sekilo mentega dari tukang mentega. Begitu sampai rumah, peternak terkejut karena timbangan mentega yang ia terima tak sampai 1 kilo. Padahal, ia membayar harga untuk 1 kilo mentega. Merasa kesal, ia memberitahukan hal ini pada perangkat desa. Perangkat desa kemudian mendatangi rumah tukang mentega bersama peternak itu. Peternak itu berkata “Apa yang kau lakukan padaku ini? Mengapa engkau menipu timbangan mentega yang kubeli darimu?”. Tukang mentega pun menjadi kaget juga. Pada hadapan perangkat desa, ia menjawab “Aku tidak memiliki timbangan, aku terlalu miskin untuk membelinya. Maka, aku selalu menimbang mentega dengan susu yang kubeli darimu”. Maka, terungkaplah bahwa yang selama ini melakukan penipuan timbangan adalah peternak. Perangkat desa kemudian membawa peternak untuk mendapatkan sanksi yang layak. Pesan Moral Tindakan buruk akan selalu kembali pada pelakunya. 11. Keledai yang Terperangkap Suatu hari ada seorang pemuda yang memelihara seekor keledai. Ia sangat menyayangi keledai tersebut, karena ia mendapatkannya pada hari ulang tahun yang kelima belas dari orang tuanya. Pada suatu sore, pemuda ini membawa keledainya berjalan-jalan ke hutan. Tak terduga, keledai tersebut terperosok masuk ke dalam sebuah lubang. Pemuda itu kemudian melakukan segala cara untuk mengeluarkan keledai itu, namun hasilnya nihil. Ketika hari menjelang malam, mereka berdua sudah sama-sama kelelahan. Pemuda itu kemudian justru melempar gundukan tanah ke lubang tersebut. Ia berpikir, “Ah usai sudah, biar ku kubur keledai kesayanganku ini”. Namun, keledai itu justru melompat ke setiap gundukan tanah yang pemuda itu masukkan. Semakin banyak gundukan tanah, semakin keledai dekat dengan tepi atas lubang. Pada akhirnya, keledai itu justru dapat keluar dari lubang. Pesan Moral Terkadang kita tanpa sengaja menemukan sebuah solusi ketika mengikhlaskan atau melepaskan sesuatu. 12. Cerpen Pendidikan tentang Menyusun Peta Suatu hari ada seorang gadis kecil yang terus menerus mengganggu ayahnya. Ia belum bisa memahami bahwa ayahnya sedang bekerja. Yang ada pada pikirannya hanya ingin bermain dengan ayahnya. Si ayah kemudian mendapat ide untuk membuat sibuk anaknya, sehingga tidak mengganggunya bekerja. Ia merobek sebuah halaman majalah yang berisi peta dunia. Ia membagi gambar tersebut menjadi beberapa potongan. Ia lalu berkata “Pergilah ke kamarmu, dan susun gambar peta ini.” Gadis kecil itu lalu pergi kamar dengan gembira. Namun, tak berselang lama, ia sudah kembali dan membawa gambar peta yang utuh. Si ayah menjadi kaget. “Bagaimana kamu melakukanya?” tanya nya pada putrinya itu. “Ada gambar wajah seorang wanita di balik gambar peta itu. Aku menyusun gambar wajah itu, sehingga gambar peta disebaliknya juga tersusun”. Si ayah pun kemudian tersenyum dan memeluk putri cerdasnya itu. Ia sama sekali tak menduga putrinya dapat melakukan hal tersebut. Pesan Moral Selalu ada sisi lain dalam setiap tantangan kehidupan yang manusia hadapi. 13. Menanam Jagung Kualitas Terbaik Suatu hari ada seorang petani jagung yang berhasil memanen jagung dengan kualitas terbaik. Ia bahkan berhasil memenangkan beberapa kontes. Kehebatan petani itu pun sampai ke telinga seorang jurnalis yang kemudian datang untuk melakukan wawancara. Dalam wawancara tersebut, terungkap bahwa petani ini selalu membagikan benih jagungnya pada beberapa petani lain yang adalah tetangganya. Tak memahami maksud petani, jurnalis itu pun bertanya “Mengapa engkau melakukannya? Bukankah para petani itu juga bersaing dalam kontes?” Petani itu menjawab “Apakah kamu tidak mengetahui tentang penyerbukan silang? Para serangga selalu berkeliling kebun untuk melakukan penyerbukan. Apabila ia datang dari kebun tetangga, maka akan terjadi penyerbukan silang. Aku tidak mau jagungku bersilang dengan bibit yang kurang baik. Maka aku membagikan bibit terbaik dengan para tetangga. Dengan demikian, mereka menanam jagung kualitasnya sama baiknya dengan jagungku.”. Jurnalis itu pun kemudian mengerti dan terkagum-kagum dengan tindakan petani ini. Pesan Moral Lakukanlah yang terbaik untuk orang lain seperti untuk dirimu sendiri. 14. Cerpen Pendidikan tentang Seekor Sapi yang Terpenggal Alkisah ada sebuah keluarga miskin yang bergantung hidup dari seorang sapi perah. Setiap hari keluarga tersebut memerah air susu sapi dan menjualnya ke pasar. Mereka hidup sangat pas-pasan dari hasil penjualan itu. Kemudian, suatu hari ada seorang pengelana yang singgah ke rumah keluarga miskin tersebut. Keluarga miskin menceritakan tentang kehidupan mereka pada pengelana tersebut. Kemudian, pada subuh hari, ketika hari masih gelap, pengelana itu bangun. Ia memenggal kepala sapi milik keluarga miskin itu, kemudian pergi melanjutkan perjalanannya. Beberapa tahun kemudian, pengelana itu kembali ke rumah itu. Penampakan rumah sudah sangat berbeda. Rumah reyot telah berubah menjadi rumah yang asri dan terawat. Ternyata pemiliknya masih keluarga yang sama. Pengelana itu juga masih disambut dengan sangat baik. Keluarga itu menceritakan bagaimana mereka berusaha mencari penghasilan dengan cara lain setelah orang tak dikenal memenggal sapi mereka. Mereka justru keluar dari himpitan ekonomi setelah satu-satunya tempat mereka bergantung sudah tidak ada lagi. Sampai pada akhir cerita, pengelana itu tidak berkata jujur tentang apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Walau demikian, niatnya telah tercapai. Pesan Moral Manusia akan berusaha lebih keras ketika sedang terhimpit. 15. Cerpen Pendidikan Ikan Segar Orang Jepang selalu menyukai ikan segar. Namun, perairan dekat Jepang tidak memiliki banyak ikan. Para nelayan harus pergi lebih jauh ke tengah laut untuk menangkap ikan, kemudian menjualnya ke pasar. Oleh sebab itu, kapal penangkap ikan perlu menjadi lebih besar, sebab mereka perlu pergi lebih jauh. Semakin jauh para nelayan pergi untuk mencari ikan, semakin lama waktu yang mereka butuhkan untuk membawa ikan hingga menepi ke daratan. Jadi, pada saat mereka kembali dan mencapai pasar, ikan-ikan itu tidak segar lagi. Untuk mengatasi masalah ini, nelayan memasang freezer di kapal mereka. Mereka akan membekukan ikan yang mereka tangkap. Ini membantu dalam menjaga kesegaran ikan untuk jangka waktu yang lebih lama. Tetapi, kesegaran seperti yang diinginkan orang–orang Jepang ternyata tidak dapat dipertahankan dengan cara ini. Harga ikan beku kemudian mulai turun. Lalu, para nelayan yang khawatir memasang tangki ikan di kapal. Mereka akan menangkap ikan dan menyimpannya hidup-hidup di dalam tangki. Ikan-ikan itu akan berlarian sedikit, lalu berhenti bergerak sesudahnya. Mereka tidak mati, hanya lelah dan bosan. Sayangnya, ikan–ikan yang demikian ternyata tidak terasa segar ketika orang-orang mengkonsumsinya. Jadi bagaimana para nelayan Jepang memecahkan masalah? Untuk menjaga ikan tetap segar dan hidup sepanjang perjalanan, para nelayan menambahkan hiu kecil di tangki ikan mereka. Memang, hiu akan makan beberapa ikan, tetapi masih banyak yang tersisa dalam keadaan hidup dan segar ketika mereka sampai di pasar. Hiu menciptakan tantangan bagi ikan–ikan dan membuat mereka tetap aktif sepanjang perjalanan. Pesan Moral Manusia justru bertumbuh segar dalam lingkungan yang menantang. 16. Cerpen Pendidikan Kejujuran Seorang Tukang Becak Suatu ada hari ada seorang tukang becak yang selalu mangkal tak jauh dari sekolah. Ada beberapa anak yang hampir setiap hari menggunakan jasa tukang becak ini untuk mengantar mereka pulang. Salah satunya adalah Dion. Rumah Dion berjarak sekitar 2 kilometer dari sekolah. Siang itu, seperti biasa, Dion menggunakan jasa tukang becak tersebut. Setelah sampai, Dion membayar biaya jasa tersebut sebesar Pada siang hari berikutnya, Dion kembali menggunakan jasa tukang becak itu. Namun ada hal yang berbeda. Kali ini tukang becak itu enggan menerima bayaran. Tukang becak itu mengatakan “Pada uang yang kemarin kamu bayarkan, ada uang yang terlipat. Jadi kamu sudah membayar ongkos 2x lipat kemarin. Hari ini, kamu tidak perlu membayar”. Mereka pun saling bertukar senyuman. Pesan Moral Pekerjaan apapun perlu dilakukan dengan integritas dan kejujuran Belajar Makna Kehidupan dari Cerpen Pendidikan Demikianlah lebih dari 15 contoh cerpen yang dapat menjadi rujukan untuk belajar tentang nilai-nilai moral dan inspirasi. Pembaca cerpen dapat menghayati setiap cerita dan melakukan refleksi secara mandiri. Sehingga, pembaca akan memperoleh pencerahan dari cerita-cerita tersebut. Kemudian, menerapkan nilai-nilai baik dalam kehidupannya sehari-hari. Harapannya, pembaca dapat menjalani kehidupan yang semakin baik. Beberapa makna kehidupan yang dapat pembaca resapi dari beberapa cerita diatas adalah kejujuran, integritas, dan bekerja keras. Selain itu, ada juga makna kehidupan mengenai nilai diri, kecerdikan, dan ketaatan pada peraturan yang semua cerita ini dapat menjadi rujukan yang bermanfaat untuk lebih mendapatkan pemahaman tentang cerpen pendidikan. Selamat membaca! Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat. Sebaik-baiknya sharing and connecting adalah membaca buku yang ditulisbagikan hasil bacaannya. Bisa begitu gak ya? Kalau bisa, oke kata-paragraf selanjutnya di bawah ini bukanlah resensi atau kritik terhadap buku. Apalagi sejenis “meta-teori”. Sungguh-sungguh ini hanyalah sedikit cerita tentang karya, sedikit kesaksian atas tentang sebuah buku yang lahir dari tradisi antropologi. Buku yang ketika pertama kali diterbitkan, S Aji masihlah ruh yang belum diamanahkan Tuhan menjalani tugas sebagai manusia fana di bumi yang sementara. Buku yang dalam bahasa asalnya berjudul Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty Basic Books. Terbit tahun 1959 oleh antropolog berkewarganegaraan Amerika Serikat, Oscar Lewis. Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001 oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia. Lalu hadir lagi cetakan kedua pada tahun 2016 dengan judul Kisah Lima Keluarga Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Saya kurang tahu jika sebelum ini sudah ada penerbit yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, dari ucapan terimakasih penulisnya, buku ini lahir dari studi etnografis yang memakan waktu sekitar 10 tahun yakni dari tahun 1948 hingga 1958. Studi yang juga menandai pergeseran lapangan penelitian antropologi dari fokus pada masyarakat primitif kepada petani dan masyarakat miskin perkotaan. Sebagaimana judulnya, buku ini menceritakan situasi hidup sehari-hari lima keluarga Meksiko. Kelima keluarga itu adalah keluarga Martinez, Gomez, Gutierrez, Sanchez, dan Castro. Ada sekitar 422 halaman yang harus dihabiskan jika ingin menikmati pelukisan mendalam Oscar Lewis atas kebudayaan kemiskinan Culture of Poverty keluarga sendiri baru membaca keluarga pertama, Martinez. Sang kepala keluarga bernama Pedro dan istrinya bernama Esperanza, nama-nama yang mengingatkan kita tentang telenovela yang pernah jaya di stasiun tv tanah air sekitar tahun 1990an. Pedro mewakili tipe kepala keluarga yang otoriter dan berkuasa, sedangkan Esperanza, perempuan sederhana dan patuh. Saking miskinnya keluarga ini, untuk menyalakan tungku, Esperanza menolak menggunakan korek api yang masih merupakan barang mewah saat itu. Esperanza memilih mengipasi arang yang mengendapkan bara sepanjang Oscar Lewis, hemat saya, adalah ia menuliskan aktifitas pembagian kerja anggota keluarga laki-laki dan perempuan dalam rumah keluarga Martinez secara detail. Apa yang dilakukan Esperanza dan anak perempuannya sepanjang hari juga anak laki-laki mereka yang pergi bekerja di ladang mengikuti ayah mereka hingga senja memanggil pulang tergambar begitu hidup. Pelukisan pembagian kerja ini dibaluti oleh pelukisan lingkungan tempat tinggal mereka dengan detail pula. Sehingga yang terbaca adalah pelukisan mendalam yang bolak balik antara kehidupan dalam rumah domestik dan kehidupan di luar publik dalam lansekap besar kebudayaan kemiskinan manusia berhenti di situ, Oscar Lewis juga melukiskan emosi-emosi yang muncul dari hubungan anggota keluarga, konflik-konflik Pedro dengan anak perempuan juga anak lelakinya. Termasuk kecemasan Esperanza ketika menyiapkan makanan untuk keluarga besar yang hidup di ruang sempit. Asiknya lagi, tidak ada evaluasi moral atau kritik terhadap kemiskinan yang termuat dalam pelukisan keluarga Meksiko ini. Sehingga kenikmatan membaca tidak berhenti sejenak karena harus mencari penjelasan pada kritik-kritik teori pembangunan. Saya juga merasakan bahasa yang digunakan oleh Oscar Lewis, sejauh membaca hasil terjemahannya, relatif lebih mudah menuntun pikiran dan perasaan. Kenikmatan yang sama tidak saya langsung temukan ketika pertama kali membaca buku antropolog Clifford Geertz-nama yang harus ditulis hati-hati karena letak huruf z dan t yang tidak boleh tertukar demi tidak ditegur kali kedua oleh Pakde Ahmad Jayakardi, he he he- tentang Involusi Pertanian, misalnya. Bisa jadi karena daya tangkap saya masih terlalu sederhana. Sesederhana kerinduan kepada kemunculan kembali Vonny Cornelia..[lhooo!! GagalPindahIdola]Yang jelas, Oscar Lewis menulis laporan penelitian lapangannya seperti sebuah cerpen yang sangat detail dan mendalam lagi hidup. Saya merasa ada di dalam cerita, mengalami emosi yang diaduk-aduk, terenyuh dan setengah tidak percaya ada potret keluarga seperti rumah tangga kesan bahwa pelukisan lima keluarga dalam kebudayaan kemiskinan Meksiko seperti membaca karya sastra juga diakui oleh Parsudi Suparlan. Antropolog Indonesia yang ikut memberi kata pengantar. Begini kata Parsudi Suparlan yang pertama kali membaca buku ini tahun 1967 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya . Sebaik-baiknya pengetahuan adalah pengetahuan yang bermanfaat. Sebaik-baiknya berbagi plus connecting adalah membaca buku yang ditulisbagikan hasil bacaannya. Bisa begitu gak ya? Kalau bisa, oke lanjut. Barisan kata-paragraf setelah itu di bawah ini bukanlah resensi atau kritik pada buku. Apalagi sejenis “meta-teori”. Sungguh-sungguh ini cuman sedikit cerita tentang karya, sedikit kesaksian atas pembacaan. Ini tentang sebuah buku yang lahir berasal dari formalitas antropologi. Buku yang saat pertama kali diterbitkan, S Aji masihlah ruh yang belum diamanahkan Tuhan merintis tugas sebagai manusia fana di bumi yang sementara. Buku yang dalam bahasa asalnya berjudul Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty Basic Books. Terbit tahun 1959 oleh antropolog berkewarganegaraan Amerika Serikat, Oscar Lewis. Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001 oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia. Lalu ada lagi cetakan ke dua pada tahun 2016 bersama dengan judul Kisah Lima Keluarga Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Saya kurang menyadari kecuali sebelum ini telah ada penerbit yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, berasal dari ucapan terimakasih penulisnya, buku ini lahir berasal dari studi etnografis yang memakan sementara kurang lebih 10 tahun yaitu berasal dari tahun 1948 sampai 1958. Studi yang termasuk menandai pergeseran lapangan penelitian antropologi berasal dari fokus pada penduduk primitif kepada petani dan penduduk miskin perkotaan. Sebagaimana judulnya, buku ini menceritakan suasana hidup sehari-hari lima keluarga Meksiko. Kelima keluarga itu adalah keluarga Martinez, Gomez, Gutierrez, Sanchez, dan Castro. Ada kurang lebih 422 halaman yang harus dihabiskan kecuali menginginkan nikmati pelukisan mendalam Oscar Lewis atas kebudayaan kemiskinan Culture of Poverty keluarga Meksiko. Saya sendiri baru membaca keluarga pertama, Martinez. Sang kepala keluarga bernama Pedro dan istrinya bernama Esperanza, nama-nama yang mengingatkan kita tentang telenovela yang dulu jaya di stasiun tv tanah air kurang lebih tahun 1990an. Pedro mewakili style kepala keluarga yang otoriter dan berkuasa, sedang Esperanza, perempuan simple dan patuh. Saking miskinnya keluarga ini, untuk menyalakan tungku, Esperanza menolak pakai korek api yang tetap merupakan barang mewah sementara itu. Esperanza menentukan mengipasi arang yang mengendapkan bara selama malam. Kehebatan Oscar Lewis, irit saya, adalah ia menuliskan aktifitas proporsi kerja bagian keluarga laki-laki dan perempuan dalam tempat tinggal keluarga Martinez secara detail. Apa yang dilakukan Esperanza dan anak perempuannya selama hari termasuk anak laki-laki mereka yang pergi bekerja di ladang ikuti bapak mereka sampai senja memanggil pulang tergambar begitu hidup. Pelukisan proporsi kerja ini dibaluti oleh pelukisan lingkungan tempat tinggal mereka bersama dengan detail pula. Sehingga yang terbaca adalah pelukisan mendalam yang bolak balik antara kehidupan dalam tempat tinggal domestik dan kehidupan di luar publik dalam lansekap besar kebudayaan kemiskinan manusia Meksiko. Tidak berhenti di situ, Oscar Lewis termasuk melukiskan emosi-emosi yang terlihat berasal dari interaksi bagian keluarga, konflik-konflik Pedro bersama dengan anak perempuan termasuk anak lelakinya. Termasuk kekuatiran Esperanza saat mempersiapkan makanan untuk keluarga besar yang hidup di ruang sempit. Asiknya lagi, tidak ada evaluasi moral atau kritik pada kemiskinan yang termuat dalam pelukisan keluarga Meksiko ini. Sehingga kenikmatan membaca tidak berhenti sejenak karena harus mencari penjelasan pada kritik-kritik teori pembangunan. Saya termasuk merasakan bahasa yang digunakan oleh Oscar Lewis, sejauh membaca hasil terjemahannya, relatif lebih mudah menuntun pikiran dan perasaan. Kenikmatan yang sama tidak aku langsung temukan saat pertama kali membaca buku antropolog Clifford Geertz-nama yang harus ditulis hati-hati karena letak huruf z dan t yang tidak boleh tertukar demi tidak ditegur kali ke dua oleh Pakde Ahmad Jayakardi, he he he- tentang Involusi Pertanian, misalnya. Bisa menjadi karena energi tangkap aku tetap terlampau sederhana. Sesederhana kerinduan kepada kemunculan lagi Vonny Cornelia..[lhooo!! GagalPindahIdola] Yang jelas, Oscar Lewis menulis laporan penelitian lapangannya seperti sebuah cerpen yang terlampau detail dan mendalam lagi hidup. Saya jadi ada di dalam [URL="https// lucu[/URL] , mengalami emosi yang diaduk-aduk, terenyuh dan 1/2 tidak yakin ada potret keluarga seperti tempat tinggal tangga Martinez. Ternyata kesan bahwa pelukisan lima keluarga dalam kebudayaan kemiskinan Meksiko seperti membaca karya sastra termasuk diakui oleh Parsudi Suparlan. Antropolog Indonesia yang ikut memberi kata pengantar. Begini kata Parsudi Suparlan yang pertama kali membaca buku ini tahun 1967 ...tulisan-tulisan Oscar Lewis perlihatkan kemampuannya dalam melukiskan kehidupan penduduk yang ditulisnya agar terlihat dekat sekali dan seolah-olah hidup dalam imaji para pembacanya. Dia mampu mengungkapkan perasaan-perasaan, emosi-emosi, dan dan imaji-imaji para pelakunya sebagai sesuatu yang terlampau hidup agar pembacanya jadi terlibat di dalam adegan-adegan peristiwa-peristiwa. Tulisan-tulisannya tidak cuma bermutu secara tehnis ilmiah antropologi, tapi termasuk sebagai karya sastra yang sedap dibaca...hal xix Masih penasaran bersama dengan kesan yang aku rasakan secara subyektif bahwa membaca Lima Keluarga seperti tengah membaca cerpen yang detail lagi dalam, aku membaca pengantar yang ditulis sendiri oleh Oscar Lewis. Pada halaman delapan, antropolog yang meninggal tahun 1970 ini katakan Telaahan tentang hari-hari yang di sediakan di sini berusaha memberi tambahan kesiapan dan kehidupan yang dideskripsikan oleh seorang pengarang novel. Meskipun demikian, keikatannya yang utama ialah kepada pengetahuan sosial bersama dengan segala kebolehan dan kelemahannya. Setiap kemiripan antara potret-potret keluarga ini bersama dengan fiksi adalah kebetulan belaka. Oscar Lewis lantas menyebut karya tentang potret lima keluarga miskin ini sebagai “realisme etnografis”. Barangkali ini dia maksudkan untuk membedakan bersama dengan “realisme sosial” yang merupakan tidak benar satu aliran dalam bersusastra. Entahlah. Setibanya di sini, aku merasakan karya Lima Keluarga Meksiko boleh menjadi bacaan rujukan referensi sekaligus acuan tehnis cara menulis dalam menyusun cerpen atau novel. Tentu saja para Fiksianer tidak harus menyita sekolah spesifik antropologi atau lakukan riset sampai 10 tahun untuk tiba pada pelahiran karya yang nikmat luar biasa seperti Oscar Lewis. Sebatas yang aku lihat, dalam konteks berolah sastra, Lima Keluarga Miskin Meksiko ini sepertinya mampu menjadi “panduan” bagaimana membangun cii-ciri tokoh, kronologis plot, konflik, dan tehnik menutup cerita tanpa terbebani acuan moral yang buat berat. Akan lebih "nendang" seandainya diperkuat oleh sedikit riset kecil. Sebegitu dulu kesaksian bacaan aku atas Lima Keluarga Miskin Meksiko buah penelitian etnografis Oscar Lewis. Di luar langit jadi mendung, senang ngangkat jemuran dulu. Selain termasuk tetap ada empat keluarga yang belum aku masuki dapur dan kamar tidur mereka yang sesak lagi miskin di vecindad. Terimakasih Mbah Oscar Lewis! 05-10-2017 1032 Diubah oleh upilbos 05-10-2017 1040 Namaku Mutiara. Aku anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Ayah dan ibu pernah bilang, nama itu tercipta karena aku adalah perhiasan dan harta satu-satunya yang paling berharga. Bisa saja itu benar karena ayah dan ibu memang tak punya harta apa pun sejak pergi dari desa. Ayah dan ibu merantau ke Jakarta karena diiming-imingi teman untuk mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Setelah menjual segala yang mereka punya dan berangkat ke Jakarta, teman ayah justru hilang bawa kabur uang tersebut. Ayah dan ibu terpaksa menguras tenaga yang tersisa untuk bekerja serabutan. Pulang ke desa sudah tidak mungkin, uang sudah tak bersisa. Lagipula, keduanya sudah kelewat malu menampakkan wajah ke orang-orang desa. Di kota yang penuh luka ini, kami tinggal di kos murah yang sering mati listrik. Untuk membantu ayah dan ibu, aku berjualan gorengan keliling. Kadang saat hujan, aku menemani ayah berjualan jas hujan di pinggir jalan. Di waktu senggang, aku menawarkan jasa pijat dan bersih-bersih. Baca juga Air Mata untuk Arcana Aku benar-benar harus bersyukur bukan? Pemilik kos kami, Ibu Vina, sangat baik, terutama jika dibandingkan ibu-ibu kos sebelumnya. Mereka biasanya mengusir kami setelah tak sanggup membayar uang kos. Ibu Vina juga sering memberikan pekerjaan membereskan rumah kepada ibu setelah acara hajatan. Ibu Vina juga enggan menaikkan biaya kos karena iba. Sebagai gantinya, Ibu Vina memintaku membersihkan kamar-kamar kos kosong yang harus siap sebelum penghuni baru tiba. Malam ini, listrik lagi-lagi padam serentak. Di minggu ini saja, sudah tiga kali pemadaman listrik terjadi. Untungnya, rumah mewah yang berjarak 2 menit dari kos masih terang-benderang. Kami bersyukur lampu-lampu rumah dengan pagar yang tingginya dua kali lipat dari tubuhku itu, sedikit menyinari kami. Hanya sedikit, karena kami mendapatkan bayangan lampu di balik tembok pemisah yang juga sama tingginya. Malam ini, aku sendirian di kamar. Ayah dan ibu belum pulang karena tengah diminta membantu acara hajatan anak ketua RT. Aku bergegas mencari lilin sisa kemarin di bawah tumpukan baju kotor ayah. Lalu aku berjalan ke pintu, merogoh kantong jaket Ayah untuk mencari korek api. Aku menyalakan lilin yang tinggal sepertiga itu dengan hati-hati. Seketika kamar sempit ini dihiasi cahaya remang-remang. Sudah lebih baik. Sudah jauh lebih baik. Aku kali ini harus benar-benar bersyukur, bukan? Aku melihat bayanganku terpantul di dinding. Terkenang masa-masa lampau ketika ayah mencoba mengusir rasa takutku dengan membuat bayang-bayang hewan dengan jarinya. Ayah akan membuat bayangan burung, kelinci, rusa, kucing, ular, siput, banteng, dan gajah. Masih terngiang suara ayah yang terkekeh melihat aku kikuk dan kesulitan menirukan gerak jemarinya. Aku bahagia saat itu. Aku menatap cermin yang berada di samping kanan bayangan. Cermin retak itu memantulkan bayangan lilin dengan cantik. Aku menirukan bayangan bebek dan burung yang menurutku terlalu mudah. Dalam remang-remang, aku bergeser mendekat ke arah cermin untuk melihat bayanganku lebih jelas. Ada bayang-bayang perempuan cantik dengan tas mentereng. Ada bayang-bayang laki-laki tampan menjemput dengan mobil dan membawaku makan di restoran mewah. Aku melihat baju-baju bermerek tersusun rapi di lemari kaca. Aku melihat perhiasan berebut melingkari leher dan lengan. Aku melihat rumah-rumah dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Aku melihat… …lilin habis. Baca juga Meneguk Air Mata Aku menghela napas panjang. Dengan setengah meraba, aku beranjak mencari lilin lainnya di pojok ruangan dan menyalakan lilin baru yang juga tinggal sepertiga. Aku menggeser tumpukan kain dan menaruh lilin dengan hati-hati di samping cermin. Aku ingin melihat bayang-bayang lain lagi. Bayang-bayang yang lebih menarik dari bayangan yang ayah buat. Bayang-bayang yang lebih menarik dari hidupku yang membosankan. Listrik menyala. Ayah dan ibu mengetuk pintu. Aku menatap ayah dan ibu dengan tatapan kecewa untuk pertama kalinya. Aku menatap wajah mereka yang renta dan keriput. Aku tahu sedang menatap kemiskinan. Mereka pun hidup dengan bayang-bayang kemelaratan yang setia. Menatap bayangan di cermin kini menjadi rutinitasku setiap lampu padam. Aku menanti-nanti kapan selanjutnya pemadaman listrik agar aku bertemu dengan bayang-bayang baru. Aku sudah menyiapkan sketsa bayangan-bayangan Bayangan bepergian keliling dunia, melanjutkan pendidikan di kampus ternama, bekerja di gedung tinggi ber-AC, berkeliling butik terkenal, memiliki mobil mewah, memiliki kekasih serupa pangeran tampan, undangan pernikahan yang megah, dan bahkan…aku memiliki bayangan lahir di keluarga yang berbeda. Bayang-bayang itu semakin lama semakin kabur seiring dengan seringnya aku mencari. Bayangan yang indah digantikan dengan bayang-bayang diriku Rambut kusut, wajah kusam, alis yang tidak rata, hidung yang pesek, badan yang tidak tinggi, bunyi kipas rusak, lengking pertengkaran tetangga, lilin yang hampir habis, serta hidup yang menyedihkan. Bayangan di cermin semakin lama semakin tidak menyenangkan. Kadang-kadang muncul bayangan ibu menangis, atau bayangan ayah berjalan menjajakan jas hujan sendirian. Bayangan piring kotor yang belum dicuci, jemuran pakaian yang belum diangkat, pintu kamar mandi yang susah dibuka, kotoran cicak, atau hanya bayangan asap obat nyamuk bakar. Aku berusaha mencari-cari bayangan lainnya yang semakin lama semakin menghilang. Aku menepuk-nepuk cermin dengan keras. Ini bukan bayangan yang kuinginkan! Bukannya bayangan yang muncul, retakan cermin justru semakin melebar. Aku jadi takut berada di kamar saat lampu padam. Aku cemas saat ayah dan ibu belum kembali. Setelah bayang-bayang yang indah menghilang sepenuhnya, bayangan-bayangan yang lebih buruk muncul dan memenuhi cermin lebih cepat. Aku melihat diriku berubah menjadi orang lain. Aku melihat tubuh mungilku terkelupas, hancur menjadi keping-keping dan digantikan oleh orang lain. Aku melihat bayangan diriku menangis sendirian. Aku tidak lagi dapat mengenali diriku sendiri. Itu bukan bayangan, ternyata. Itu adalah diriku sendiri. Air mata mengalir di pipiku. Dadaku sesak dan napasku tidak teratur. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Dalam sedihku yang teramat sangat, aku mengumpulkan sisa tenaga dan menarik cermin tersebut ke lantai. Cermin itu pecah berkeping-keping. Bayanganku pecah menjadi beribu bayangan kecil. Aku memunguti pecahannya, menyapu sisa-sisa butiran kecil yang tersisa, dan membuangnya ke tempat sampah. Baca juga Hilangnya Sono Suara ketukan. Ibu pulang. Aku membuka pintu. Ibu melemparkan senyum ke arahku di antara bajunya yang lusuh dan keringat yang bercucuran. Di tangannya tersedia nasi bungkus. “Mutiara, ini ibu bawakan makan dari Ibu Tini,” tuturnya lembut. “Wajahmu pucat, maaf ya, Ibu pulang terlalu larut. Ayah masih di luar, kita makan saja duluan,” lanjutnya sambil mengelap piring. “Ibu…maaf, aku tidak sengaja menyenggol cerminnya. Sudah aku buang dan bereskan,” kataku sambil menggigit bibir. Ibu mendekatiku dalam tatapnya yang sayu, “Tidak apa-apa. Buat ibu, yang penting kamu tidak terluka bukan? Ada banyak cermin lain di dunia ini, Mutiara. Tapi hanya satu untuk cermin dalam diri sendiri.” Aku memeluk ibu erat-erat dan menangis dalam pelukannya. Ibu mengelus kepalaku sembari mengucap maaf tanpa suara. Ibu, aku akan hidup dalam bayanganku sendiri. Post Views 234

cerpen tentang keluarga miskin